Selasa, 03 September 2019

Adakah Hukuman itu Membuat Siswa Menjadi Lebih Baik?

Pertanyaan ini bisa menimbulkan pro dan kontra terhadap adanya hukuman bagi siswa yang melanggar peraturan. Saya menjadi guru hampir 20 tahun. Saya termasuk salah seorang yang sangat meyakini bahwa penegakan disiplin yang ketat dan hukuman yang keras bagi pelanggar tata tertib bisa membuat pelajar menjadi lebih baik. Sepuluh tahun lebih keyakinan itu saya pelihara, sampai akhirnya saya berjumpa dengan seorang manta siswa saya yang pernah saya perlakukan dengan keras. Dia  mengingat saya sebagai seorang guru yang keras dan galak. Diingat oleh mantan murid tentu mebahagiakan bagi seorang guru. Tapi diingat sebagai seorang guru yang galak dan keras rasanya tidak enak bagi saya. Sejak saat itu saya berpikir sangat serius. Keyakinan saya selama ini salah. APa yang saya pegang teguh "keras dan tegas menjaga displin" tidak lagi membahagiakan. Kehidupan mantan murid saya ini berbeda dengan murid saya yang lain, yang tidak pernah saya kerasin. Hidupmya tampak lebih nikmat. Bincang dengan saya pun terasa lepas dan segar.

Sejak saat itu saya meyakini bahwa tata tertib tidak harus ditegakan dengan keras dan galak. Saya mulai mengalami pertobatan. Saya belajar memperlakukan para siswa saya saat ini dengan hati. Perhatian saya lebih lembut; tutur kata saya lebih enak. Sampai suatu saat ada dua orang siswa saya adu fisik. Kedua orang tua dari siswa-siswa ini saya undang ke sekolah. Pada mulanya saya berkata dengan tegas dan mantap bahwa adu fisik sangat dilarang di sekolah ini. Sanksi yang harus diterima siswa pun jelas. Skorsing!
Para orang tua ini diam. Entah apa yang mereka rasakan. Tampak dari wajahnya rasa kesal dan kecewa, marah dan bingung sambil berharap belas kasihan. Setelah beberapa saat hening saya melanjutkan perkataan. Kedua anak ini tanggung jawab saya. Saya akan terus membina mereka dengan baik. Mereka tidak saya hukum skorsing. Sebagai konsekuensi yang harus mereka terima adalah bekerja sosial (social services) yakni memberishkan lingkungan kelas dan sekolah, beberapa kali siswa ini harus mengunjungi orang sakit di rumah sakit dan ikut dalam kegiatan sosial teman temanya. Mendengar ini, para orang tua tampak berubah wajah. Bahagia dan bersykur.

Setelah menyampaikan semua ini perasaan saya lega. Saya pun mengalami kegembiraan karena orang tua juga gembira. Pada sisi lain, para siswa yang adu fisik tidak makin terluka. Adu fisik sebagai ungkaoan emosi marah dan menyakiti orang lain harus disembuhkan dengan cara banyak berbuat kasih kepada orang lain. Dengan melakukan kunjungan sosial dan membersikan lingkungan sekolah, dua siswa yang adu fisik ini telah melakukan perbuatan bajik sebagai silih (denda) atas perbuatan mereka. Dua siswa ini saat ini makin akrab karena sering melakukan tindakan bajik bersama-sama.
Dari pengalaman ini saya menjadi makin yakin bahwa kesahalan tidak harus ditimpahi hukuman yang meyakitkan. "Jera" hanyalah ada dalam kamus "gigi ganti gigi" mentalitas hukum lama. tidak mendidik dan tidak menyembuhkan. "Tidak ada anak yang bermasalah, yang ada masalah anak" kata Master Cheng Yen.

Adakah Hukuman itu Membuat Siswa Menjadi Lebih Baik?

Pertanyaan ini bisa menimbulkan pro dan kontra terhadap adanya hukuman bagi siswa yang melanggar peraturan. Saya menjadi guru hampir 20 tahu...